Dengan sekali melihat dan mendengar saja, estetika pada lagu-lagu
Iwan Fals memang sering tersirat dengan tajam, walau ada beberapa
beberapa komposisi yang dinyanyikan yang lebih bertolak kepada pada
kekuatan teks saja.
Iwan hanya satu dari sebagian kecil musisi besar yang mencoba untuk
membebaskan semua bentuk keterpenjaraan dan keterikatan dunia musik dari
keorisinilannya. Bagi Iwan Fals jelas sekali terlihat, bahwa baginya
musik bukanlah sebuah wadah untuk sekedar berekspresi dan berkreasi,
tapi lebih kepada sebuah jalan untuk menuju ke dunia ‘kesufian’ di mana
manusia bisa berada dalam tingkat kesadarannya yang paling bawah bahwa
kita adalah ‘manusia’; suatu objek yang sedang diteliti oleh
Yang Maha Gaib kualitas kekuatan jiwa dan pikirannya. Manusia tidak
bisa keluar dari hakikatnya sebagai makhluk yang terpilih untuk memilih
dan menjadi pilihan. Di sinilah sebuah penjabaran yang luas tentang
mahzab ini terlukis, dalam komposisi ‘Hadapi Saja’ yang dikantatakan
oleh Iwan, di dalamnya tersirat sebuah revelasi, titik-titik terjauh
kemanusiawian, tentang kesempurnaan seorang manusia.
Komposisi lagu ini dapat dibagi dalam tujuh bait, di mana Iwan di
tiap-tiap bagiannya berbicara lebih jauh dengan bahasa ‘diam’-nya yang
tidak bisa dinadakan kecuali hanya dengan symbol-simbol yang keliru
dalam birama-birama yang salah. Setiap bait yang tujuh itu berkelebat
dalam gumaman dan suasana asing, di mana suasana-suasana dan
ucapan-ucapan yang ada adalah bentuk-bentuk yang sangat rahasia.
Dalam bait pertama dapat sisimpulkan bahwa sebuah keharusan untuk
‘berpuat apa’ terhadap ‘apa’ yang pada dasarnya tidak dengan benar dan
hakiki kita ketahui kecuali dalam terka-terkaan logika. ‘Dia sudah
miliknya’ atau pun ‘Dia sudah milik-Nya (saya lebih suka dengan konsep
yang pertama), tetap membenarkan sebuah kesepakatan bahwa ada sesuatu
yang asing dari manusia. Ada sesuatu yang asing dari sesuatu yang akan
kembali ke sesuatu dalam bentuk sesuatu. Yang bisa ditanggap dan
dimengerti hanyalah bahwa sesuatu itu pernah ada dan terlihat yang
kemudian pasti terobjekkan dalam karya-karya; walau hanya berbentuk
pengucapan. Komposisi pada bait ini lebih menuntut dan mengaplikasi pada
keikhlasan, bahwa sebenarnya manusia adalah makhluk yang telah
diharuskan untuk ‘mencari’ bukan mendominasi. Karena apa pun—termasuk
diri individu manusia sendiri—tidak pernah menjadi milik siapa pun,
tidak pernah menjadi milik kita, seutuh dan selamanya. Dan manusia dalam
takdirnya tidak perlu berkeluh kesah (bait ke dua).
Iwan Fals memperlihatkan sisi-sisi manusia yang keluar dari kemampuan
standarnya. ‘Hadapi saja’ secara kasarnya adalah penguasaan manusia
terhadap emosi dan pikiran ketika penalaran normal tidak mampu lagi
meringkas sesuatu yang sempurna dari takdir. ‘Hadapi saja’ bukanlah
kalimat pasrah melainkan sebuah tonggak untuk berdiri dan kembali
bergumam pada bagian jernih perjalan.
Penafsiran tersebuat di atas diperkuat ketika Iwan Fals diperkuat dengan
teknik vokal declamando-nya (khusus untuk bait ‘Hadapi saja’). Ia
bernyanyi tapi berbicara. Maksudnya, ketika ‘Hadapi saja’ divokalkan,
Iwan setengah bernyanyi dan setengah berbicara. Refleksinya adalah, ada
satu pergerakkan (movement) di mana ketika dua sisi bertemu atau menyatu
dan berkelanjutan sampai menciptakan satu keselarasan, ia akan menjadi
‘bentuk’ yang lain, yang dapat dikatakan sebagai ‘Oktaf Penciptaan’.
Ada sebuah perbandingan yang bisa diketengahkan dalam hal ini.
Menurut kepercayaan Hindu dalam kitab Weda-nya, penciptaan semesta dan
isinya dimulai dari suara ohm dan ah. Jika kita teliti lebih jauh
tentang hal ini dari segi praktek penuturan orang-orang Hindu itu
sendiri, ohm dan ah yang dimaksud tidak akan berhasil merealisasikan
bentuknya jika hanya jika hanya dengan bernyanyi saja dan juga tidak
akan bisa dengan gaya berbicara saja. Tapi ketika kedua cara tersebut
tergabung dan mencapai keseimbangan dalam sebuah declamando, bentuk dan
atau suara ohm dan ah itu akan menjadi satu oktaf yang mistis.
Strophe selanjutnya dapat dikatakan sama penginterpretasiannya.
Tuhan, dalam hal ini, pasti mempunyai maksud dan tujuan yang terkurung
dalam konstanta-splendidamenta(kesempunanaan abadi)-nya. Ada
ketetapan-ketetapan-Nya yang terkadang dapat dikatakan bergerak
berangsur-angsur lamban dan terkadang berangsur-angsur cepat. Ada yang
berupa gertak langsung pelan dan sesekali pasti akan berupa gertak
langsung cepat; sedang gejala alam akan berorkestra dengan kecepatan
smanioso yang gemuruh. “Ambil hikmahnya, ambil indahnya… Hadapi saja.”
Pendekatan-pendekatan ini membuktikan, bahwa masa lalu, masa
sekarang, masa depan, hanyalah sebuah ‘tanda titik’ di mana tidak ada
awal dan tidak ada akhir, di mana pada hakikatnya kita tidak pernah
mendapat apa-apa dan tidak kehilangan apa-apa, dan kita tidak pernah
berada di mana-mana. Kita hanya ‘di satu titik’.
Merujuk kepada Shin Nakagawa dalam teori ethnomusicology-nya: “Kita
harus mendengarkan suara dalam diri kita sendiri, yaitu suara
imajinatif, dan suara ingatan, dan lain-lain”. ‘Hadapi saja’ Iwan Fals
telah sampai pada tingkat balance antara suara imajinasi dengan logika,
antara yang gaib dan nyata, antara suara bicara dan suara nyanyian.
Itulah format yang sedang disuguhkannya. Lagu ini jika dilukiskan dalam
bentuk partiture, bukanlah lagu yang kaya dengan nada, bukanlah lagu
yang dipaksakan untuk berstruktur indah. Tapi kombinasi antar
kesederhanan musik dan kesederhanan lirik menjadikannya sebuah batang
tubuh yang mampu berbicara tentang diri dan rahasianya sendiri. Ia bisa
mengungkapkan pada beat mana manusia bisa ‘bersatu’ dengan Tuhan. Tak
ada fermata dalam lagu ‘Hadapi saja’ ini, tapi musiknya mampu untuk
bicara lagi dan bicara lagi lebih jauh tentang kesadaran. Itulah sebuah
revalasi, itulah sebuah apokalipse, itulah sebuah kebenaran yang
tersirat, yang tidak pernah dikaji oleh siapa pun sebelumnya.
Ada satu hal lagi yang tercelup ke dalam musikalisasi ‘Hadapi saja’;
cannon-acciacatura, di mana bait pertama berubah format. Menjadi serupa
mantra, rajah, yang dating semirip guruh lembut (lihat ‘Oktaf
Penciptaan’). Dalam teorinya bait pertama dalam format lain itu adalah
dzikirnya nada-nada. Pemvokalan yang dilakukan pada bagian ini telah
menyentuh bagian paling tabu di alam logika-imajinasi manusia. Ketika
manusia kehilangan control, atau ketika manusia begitu sangat memahami
apa yang disebut dengan mikrocosmos dan makrocosmos yang saling
berefleksi, dan alam cosmos dengan chaos yang saling tumpang-tindih,
bait ini ‘akan’ membangun satu lagi dunia yang mengitari manusia di mana
tidak ada yang nyata da tidak ada yang tidak nyata, ruh akan menyembul
serupa uap di air mendidih kemudian bersemayam di alam ‘lain’.
Kembalinya kesadaran atau tidak, tergantung seberapa kuatnya ohm dan ah
telah menadai sebuah keselarasan awal.
Kembali menurut Shin Nakagawa, “Telinga yang peka akan dapat mencari
suara dalam, yaitu suara-suara yang tidak bisa didengarkan dengan cara
biasa. Apabila kita mempunyai kemampuan demikian, kita bisa mendengarkan
tidak hanya suara-suara ingatan dan imajinatif saja, akan tetapi juga
suara dalam, yaitu suara yang tidak berbunyi. Suara seperti itu keluar
dari ambang batas pendengaran manusia (50-20.000 Hz). Dan sebenarnya
suara-suara itu tersentuh oleh ‘Hadapi saja’-nya Iwan Fals. Adakah yang
mampu merasakan bentuk-bentuk keanehan yang mengiringi nada-nada nyata
dalam musikalisasi itu?
Dalam tubuh manusia tersimpan kekuatan-kekuatan yang mampu merobohkan
batas logika manusia. Jika logika terbentur habis pada Ruang, Waktu,
dan Tuhan, maka kesempurnaan yang dimiliki manusia—jika manusia itu
mampu membentuk dan mengeluarkannya—akan memecahkan hilangnya
batas-batas, kemampuan manusia yang menyeluruh akan mampu menjawabnya.
Sedangkan Iwan Fals sedang membukakan pintu keretanya bagi siapa yang
ingin menikmati deru.
Sumber : midoldol
Tidak ada komentar:
Posting Komentar