Sabtu, 23 Agustus 2014

Makna lagu Hadapi Saja - Iwan Fals

Dengan sekali melihat dan mendengar saja, estetika pada lagu-lagu Iwan Fals memang sering tersirat dengan tajam, walau ada beberapa beberapa komposisi yang dinyanyikan yang lebih bertolak kepada pada kekuatan teks saja.
Iwan hanya satu dari sebagian kecil musisi besar yang mencoba untuk membebaskan semua bentuk keterpenjaraan dan keterikatan dunia musik dari keorisinilannya. Bagi Iwan Fals jelas sekali terlihat, bahwa baginya musik bukanlah sebuah wadah untuk sekedar berekspresi dan berkreasi, tapi lebih kepada sebuah jalan untuk menuju ke dunia ‘kesufian’ di mana manusia bisa berada dalam tingkat kesadarannya yang paling bawah bahwa kita adalah ‘manusia’; suatu objek yang sedang diteliti oleh Yang Maha Gaib kualitas kekuatan jiwa dan pikirannya. Manusia tidak bisa keluar dari hakikatnya sebagai makhluk yang terpilih untuk memilih dan menjadi pilihan. Di sinilah sebuah penjabaran yang luas tentang mahzab ini terlukis, dalam komposisi ‘Hadapi Saja’ yang dikantatakan oleh Iwan, di dalamnya tersirat sebuah revelasi, titik-titik terjauh kemanusiawian, tentang kesempurnaan seorang manusia.
Komposisi lagu ini dapat dibagi dalam tujuh bait, di mana Iwan di tiap-tiap bagiannya berbicara lebih jauh dengan bahasa ‘diam’-nya yang tidak bisa dinadakan kecuali hanya dengan symbol-simbol yang keliru dalam birama-birama yang salah. Setiap bait yang tujuh itu berkelebat dalam gumaman dan suasana asing, di mana suasana-suasana dan ucapan-ucapan yang ada adalah bentuk-bentuk yang sangat rahasia.
Dalam bait pertama dapat sisimpulkan bahwa sebuah keharusan untuk ‘berpuat apa’ terhadap ‘apa’ yang pada dasarnya tidak dengan benar dan hakiki kita ketahui kecuali dalam terka-terkaan logika. ‘Dia sudah miliknya’ atau pun ‘Dia sudah milik-Nya (saya lebih suka dengan konsep yang pertama), tetap membenarkan sebuah kesepakatan bahwa ada sesuatu yang asing dari manusia. Ada sesuatu yang asing dari sesuatu yang akan kembali ke sesuatu dalam bentuk sesuatu. Yang bisa ditanggap dan dimengerti hanyalah bahwa sesuatu itu pernah ada dan terlihat yang kemudian pasti terobjekkan dalam karya-karya; walau hanya berbentuk pengucapan. Komposisi pada bait ini lebih menuntut dan mengaplikasi pada keikhlasan, bahwa sebenarnya manusia adalah makhluk yang telah diharuskan untuk ‘mencari’ bukan mendominasi. Karena apa pun—termasuk diri individu manusia sendiri—tidak pernah menjadi milik siapa pun, tidak pernah menjadi milik kita, seutuh dan selamanya. Dan manusia dalam takdirnya tidak perlu berkeluh kesah (bait ke dua).
Iwan Fals memperlihatkan sisi-sisi manusia yang keluar dari kemampuan standarnya. ‘Hadapi saja’ secara kasarnya adalah penguasaan manusia terhadap emosi dan pikiran ketika penalaran normal tidak mampu lagi meringkas sesuatu yang sempurna dari takdir. ‘Hadapi saja’ bukanlah kalimat pasrah melainkan sebuah tonggak untuk berdiri dan kembali bergumam pada bagian jernih perjalan.
Penafsiran tersebuat di atas diperkuat ketika Iwan Fals diperkuat dengan teknik vokal declamando-nya (khusus untuk bait ‘Hadapi saja’). Ia bernyanyi tapi berbicara. Maksudnya, ketika ‘Hadapi saja’ divokalkan, Iwan setengah bernyanyi dan setengah berbicara. Refleksinya adalah, ada satu pergerakkan (movement) di mana ketika dua sisi bertemu atau menyatu dan berkelanjutan sampai menciptakan satu keselarasan, ia akan menjadi ‘bentuk’ yang lain, yang dapat dikatakan sebagai ‘Oktaf Penciptaan’.
Ada sebuah perbandingan yang bisa diketengahkan dalam hal ini. Menurut kepercayaan Hindu dalam kitab Weda-nya, penciptaan semesta dan isinya dimulai dari suara ohm dan ah. Jika kita teliti lebih jauh tentang hal ini dari segi praktek penuturan orang-orang Hindu itu sendiri, ohm dan ah yang dimaksud tidak akan berhasil merealisasikan bentuknya jika hanya jika hanya dengan bernyanyi saja dan juga tidak akan bisa dengan gaya berbicara saja. Tapi ketika kedua cara tersebut tergabung dan mencapai keseimbangan dalam sebuah declamando, bentuk dan atau suara ohm dan ah itu akan menjadi satu oktaf yang mistis.
Strophe selanjutnya dapat dikatakan sama penginterpretasiannya. Tuhan, dalam hal ini, pasti mempunyai maksud dan tujuan yang terkurung dalam konstanta-splendidamenta(kesempunanaan abadi)-nya. Ada ketetapan-ketetapan-Nya yang terkadang dapat dikatakan bergerak berangsur-angsur lamban dan terkadang berangsur-angsur cepat. Ada yang berupa gertak langsung pelan dan sesekali pasti akan berupa gertak langsung cepat; sedang gejala alam akan berorkestra dengan kecepatan smanioso yang gemuruh. “Ambil hikmahnya, ambil indahnya… Hadapi saja.”
Pendekatan-pendekatan ini membuktikan, bahwa masa lalu, masa sekarang, masa depan, hanyalah sebuah ‘tanda titik’ di mana tidak ada awal dan tidak ada akhir, di mana pada hakikatnya kita tidak pernah mendapat apa-apa dan tidak kehilangan apa-apa, dan kita tidak pernah berada di mana-mana. Kita hanya ‘di satu titik’.
Merujuk kepada Shin Nakagawa dalam teori ethnomusicology-nya: “Kita harus mendengarkan suara dalam diri kita sendiri, yaitu suara imajinatif, dan suara ingatan, dan lain-lain”. ‘Hadapi saja’ Iwan Fals telah sampai pada tingkat balance antara suara imajinasi dengan logika, antara yang gaib dan nyata, antara suara bicara dan suara nyanyian. Itulah format yang sedang disuguhkannya. Lagu ini jika dilukiskan dalam bentuk partiture, bukanlah lagu yang kaya dengan nada, bukanlah lagu yang dipaksakan untuk berstruktur indah. Tapi kombinasi antar kesederhanan musik dan kesederhanan lirik menjadikannya sebuah batang tubuh yang mampu berbicara tentang diri dan rahasianya sendiri. Ia bisa mengungkapkan pada beat mana manusia bisa ‘bersatu’ dengan Tuhan. Tak ada fermata dalam lagu ‘Hadapi saja’ ini, tapi musiknya mampu untuk bicara lagi dan bicara lagi lebih jauh tentang kesadaran. Itulah sebuah revalasi, itulah sebuah apokalipse, itulah sebuah kebenaran yang tersirat, yang tidak pernah dikaji oleh siapa pun sebelumnya.
Ada satu hal lagi yang tercelup ke dalam musikalisasi ‘Hadapi saja’; cannon-acciacatura, di mana bait pertama berubah format. Menjadi serupa mantra, rajah, yang dating semirip guruh lembut (lihat ‘Oktaf Penciptaan’). Dalam teorinya bait pertama dalam format lain itu adalah dzikirnya nada-nada. Pemvokalan yang dilakukan pada bagian ini telah menyentuh bagian paling tabu di alam logika-imajinasi manusia. Ketika manusia kehilangan control, atau ketika manusia begitu sangat memahami apa yang disebut dengan mikrocosmos dan makrocosmos yang saling berefleksi, dan alam cosmos dengan chaos yang saling tumpang-tindih, bait ini ‘akan’ membangun satu lagi dunia yang mengitari manusia di mana tidak ada yang nyata da tidak ada yang tidak nyata, ruh akan menyembul serupa uap di air mendidih kemudian bersemayam di alam ‘lain’. Kembalinya kesadaran atau tidak, tergantung seberapa kuatnya ohm dan ah telah menadai sebuah keselarasan awal.
Kembali menurut Shin Nakagawa, “Telinga yang peka akan dapat mencari suara dalam, yaitu suara-suara yang tidak bisa didengarkan dengan cara biasa. Apabila kita mempunyai kemampuan demikian, kita bisa mendengarkan tidak hanya suara-suara ingatan dan imajinatif saja, akan tetapi juga suara dalam, yaitu suara yang tidak berbunyi. Suara seperti itu keluar dari ambang batas pendengaran manusia (50-20.000 Hz). Dan sebenarnya suara-suara itu tersentuh oleh ‘Hadapi saja’-nya Iwan Fals. Adakah yang mampu merasakan bentuk-bentuk keanehan yang mengiringi nada-nada nyata dalam musikalisasi itu?
Dalam tubuh manusia tersimpan kekuatan-kekuatan yang mampu merobohkan batas logika manusia. Jika logika terbentur habis pada Ruang, Waktu, dan Tuhan, maka kesempurnaan yang dimiliki manusia—jika manusia itu mampu membentuk dan mengeluarkannya—akan memecahkan hilangnya batas-batas, kemampuan manusia yang menyeluruh akan mampu menjawabnya. Sedangkan Iwan Fals sedang membukakan pintu keretanya bagi siapa yang ingin menikmati deru.

Sumber : midoldol

Tidak ada komentar:

Posting Komentar